Ex Makalah : Aswaja & Pesantren


MAKALAH

ASWAJA PERSPEKTIF DOKTRIN

(Konsep Dasar)

 

 

 

 

 

 

 

 

DOSEN PEMBIMBING

Nur Qomari S.Mi

 

DISUSUN OLEH

Kelompok 1a

  1. Lailatul Isma Mufida
  2. Mega Choir
  3. Mei Amalia Madinata
  4. Muslim
  5. Sunardik

 

INSTITUT AGAMA ISLAM AL QOLAM

FAKULTAS TARBIYAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2015/2016

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan Islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai Aswaja Persperktif Doktrin (Konsep Dasar) dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Studi Pesantren dan Aswaja.

Makalah ini telah dibuat berdasarkan sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

 

  1. LATAR BELAKANG

Pada zaman yang serba moderat saat ini banyak pemuda pemudi yang kurang mengetahui sejarah atau terbentunya agama yang berkembang di Indonesia. Terutama Agama Islam.

Seharusnya pemuda pemudi terutama yang beragama Islam, mengetahui sejarah-sejarahnya ataupun aliran-aliran yang berkembang dan bermunculan.

Dari situ perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengisyaratkan bahwa hanya ada satu aliran yang benar, dan akan selamat yakni Ahlussunnah Wal Jama’ah, maka hendaknya kita mengetahui latar belakang muculnya Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya identik dengan pernyataan Nabi Muhammad SAW “Maa Ana’alaihi wa Ashabi” seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasulullah dalam sebuah hadist (diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Abu Dawud) bahwa Bani Israel akan terpecah belah menjadi 72 golongan dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Kemudian para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah ?” Lalu Rosulullah menjawab, “Mereka itu adalah Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan dilakukan oleh para sahabatku”.

Dalam hadist tersebut Rasullullah SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pernyataan Nabi ini tentu tidak sekedar dimaknai secara tekstual tetapi lebih diartikan pada Manhaj Au Thariqah fi Fahmin Nushus wa Tafsiriha (Metode memahami Nash dan bagaimana menafsirkannya).

Setelah adanya Aswaja pun, masih banyak pertentangan di kalangan-kalangan para ulama’ tentang kebenaran pendapat masing-masing. Sehingga muncul perspektif-perspektif baru, atau pandangan-pandangan dari banyak segi. Seperti doktrin, dari segi cultural, dan lain-lain.

 

  1. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Ahlussunnah wal Jama’ah dilihat dari Doktrin?

 

  1. TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH

Untuk mengetahui Aswaja perspektif Doktrin.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Aswaja

Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati. [1] Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW. [2]

Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. [3]

Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili. [4] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya. [5]

Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat. [6]

Dari segi bahasa, ”ahlussunnah” berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).

 

  1. Pengertian Doktrin

DOKTRIN adalah suatu bentuk tindakan mengharuskan/memaksakan bahwa suatu kasus harus diyakini dan dibenarkan seperti apa yang disampaikan..

Ada juga yang mengartikan dokrin sebagai berikut:

  1. Sebuah prinsip atau tubuh prinsip yang diberikan untuk penerimaan/dukungan atau kepercayaan, seperti oleh sebuah agama, sebuahkelompokpolitik, ilmupengetahuan, ataufilosofi; dogma.
  2. Sebuah aturan atau prinsip hukum, khususnya ketika diberikan melalui teladan
  3. Sebuah pernyataan dari kebijaksanaan resmi pemerintahan, khususnya mengenai hubungan luar negri dan strategi militer
  4. suatu pemikiran yang sudah lama ; sebuah pengajaran.

Dilihat dari sifatnya, doktrin merupakan pedoman tatalaku yang bersifat mendasar dan umum untuk menghadap sesuatu masalah, sehingga di dalam penerapannya tergatung dari situasi yang berlaku pada saat itu. Dilihatdarisegi proses terjadinya, doktrinberkembangmelalui proses penalaran, olehkarenaitupenerapnnya pun harusmelaluiprosespenalaran. Doktrinmerupakanpengetahuannormatif (=norma moral) daripadasuatupengetahuanpositif. Olehkarenadoktrindapatdirumuskansebagaiberikut: “Pemikiranataucaraterbaik yang ada, mengenaisuatumasalahdanmenyatakansertamembimbingparapenganutnya, untukmenghadapimasalahitu; yang manadiyakinikebenarannyaolehparapenganutnya, diajarkansertadisebarluaskannamunpelaksanaannyaharusdidasarkanpadapenalaran yang memadaikondisi yang berlakupadasaatitu”.

 

  1. Doktrin Aswaja

Dari pengertian keduanya (Aswaja dan doktrin itu sendiri), maka Aswaja dilihat dari Doktrin adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Pendapat bahwa Aswaja bukan sebagai doktrin merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Pemahaman keagamaan yang tersebar dalam berbagai bidang ilmu-ilmu ke-Islam-an, seperti Fiqh Theologi dan Sufisme, yang sekarang dianut oleh kebanyakan umat Islam merupakan doktrin Aswaja. Dengan demikian jika Aswaja hanya diakui sebagai manhaj atau metoda pemahaman Islam, pendapat ini merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Jadi permasalahan yang penting untuk dikembangkan bukan apakah Aswaja sebagai doktrin itu ada atau tidak, tetapi apakah pembahasan Aswaja itu cukup mendasarkan pada wilayah doktrinal ataukah harus pula membahas Aswaja sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah apakah pembenaran (justification) terhadap Aswaja itu cukup dengan pendekatan normatif?

Tradisi pemikiran Islam yang ada sekarang (Fiqh, theologi, Sufisme dan lainya) tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari suatu proses pergumulan yang panjang, yang sudah barang pasti terkait erat dengan aspek-aspek sosio-kultural serta sosio-politik yang melingkupinya. Itulah karenanya untuk mendapatkan gambaran utuh, pengkajian Aswaja tidak cukup hanya mengandalkan pada kajian-kajian doktrinal dengan pendekatan normatif, tetapi harus melibatkan kajian kesejarahan. Kajian kesejarahan ini penting dilakukan untuk meluruskan pola-pola pemahaman keagamaan mana yang historis dan mana yang ahistoris.

Ada beberapa alasan mengapa kajian kesejarahan ini sangat penting. Pertama, banyak umat Islam yang melihat Aswaja dengan berbagai variasinya hanya sebagai ideologi yang baku, seolah infallible dan immune terhadap perubahan zaman. Dalam konteks ini Aswaja seringkali diartikan secara sederhana yakni sebagai antitesa dari faham Syi’ah, orthodoxy dari heterodoxy atau sunnah dari bid’ah. Khusus di Indonesia, Aswaja ini bahkan telah diklaim sebagai ideologi dari berbagai organisasi keagamaan. Meskipun diantara Ormas Islam yang ada, NU dan badan otonomnya yang paling rajin mengkampanyekan dirinya sebagai penerus dan pemelihara faham Aswaja, Ormas-ormas Islam lainnya juga telah mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja, baik secara implisit maupun eksplisit. Salah satu keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa keputusan tentang “iman merupakan akidah ahlul haqq wa al-sunnah”.Persis juga mengklalim dirinya lebih berhak menyandang predikat Aswaja dengan alasan bahwa ia tidak bermadzhab (Said, 1999: 114). Dengan demikian klalim “ahlusunnah” sebenarnya lebih pantas disandang mereka. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu muncul fenomena baru yang sangat menarik karena kelompok Muslim garis keras telah mengklaim dirinya secara eksplisit sebagai “kelompok Jihad Aswaja”.

Di tengah munculnya klaim Aswaja yang dilakukan berbagai organisasi kegamaan di Indonesia saat ini, sudah selayaknya jika Ansor sebagai komponen generasi muda NU, memberikan pemaknaan yang benar dari konteks manhaji (metodologis). Mengapa tidak dari sudut pandang doktrinal? Karena upaya pemaknaan dan pendefinisian kembali (redefinisi) Aswaja secara doktrinal terkadang menimbulkan hal-hal yang paradoksal. Doktrin merupakan hasil pemikiran seseorang yang kemudian terlembaga menjadi ajaran baku. Sudah barang pasti dalam proses pembakuan ini terkait dan terpengaruh oleh kondisi waktu dan tempat. Doktrin yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu belum tentu tepat dengan kondisi sekarang. Justeru kalau kita memaknai Aswaja dari sisi doktrinal, kita akan terjebak sendiri. Boleh jadi kita tidak lagi bisa dikatakan sebagai bagian dari penganut Aswaja yang hakiki karena telah melakukan pemutlakan pembenaran doktrinal.

Alasan kedua mengapa Aswaja tidak harus difahami dari sisi doktrinal ini didasarkan atas suatu kenyataan bahwa banyak pendapat para Imam yang kita anggap sebagai rujukan tetapi berbeda tajam antara satu sama lainnya. Misalnya al-Junaidi menyatakan bahwa peniadaan sifat-sifat Allah merupakan awal dari sikap tawhid . Ini jelas akan bertentangan dengan faham Imam al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat. Inilah yang menyulitkan kita untuk bisa memberikan pembenaran jika Aswaja difahami dalam konteks doktrinal. Oleh karena itu, untuk memberikan pembenaran, perlu kiranya melihat Aswaja dalam konteks manhaj atau metodologi pemahaman keagamaan.

Ketiga, dasar pembenaran Aswaja selama ini seringkali bersifat teologis normatif. Ada dua Hadits riwayat Imam Turmudzi dan satu Hadits riwayat Imam Tabrani yang sering digunakan untuk membenarkan Aswaja. Hadits-hadits tersebut menceritakan tentang akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sampai 73 kelompok sebagaimana telah terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen. Dintara ke 73 kelompok itu semuanya akan masuk Neraka kecuali satu kelompok, yakni kelompok pengikut Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tabrani bahkan disebutkan secara eksplisit bahwa yang satu kelompok itu adalah Ahlu Sunah Wa al-Jama’ah.

Pembenaran secara teologis-normatif tidak ada salahnya. Pendekatan normatif tidak harus dihadapkan secara diametrical dengan pendekatan ilmiyah. Dalam banyak hal, keyakinan keagamaan juga perlu mendapatkan pembenaran normatif. Dengan demikian persoalannya bukan tidak boleh menggunakan pendekatan normatif untuk mendukung Aswaja tetapi sejauh mana pendekatan normatif itu berwatak coherent dan tidak paradoxical.

Jika diteliti secara mendalam, ketiga hadits pembenar Aswaja itu berwatak paradoxical dan mungkin sekali lahir saat umat Islam dilanda perpecahan. Hadits-hadits itu muncul untuk tujuan penyatuan Umat Islam yang sudah tercerai berai akibat perang saudara. Bahwa dalam Hadits-hadits tersebut terkandung tujuan yang sangat mulia, memang tidak diragukan lagi. Namun dalam memenuhi tujuan yang mulia tersebut ada satu prinsip yang terkorbankan, yakni prinsip kesucian Muhammad sebagai Rasulullah.

Kehadiran Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat “Jahiliyah” sudah barang pasti tidak bisa dipisahkan dari misi kerasulan, baik dalam wujud al-Qur’an maupun dalam bentuk prilaku pribadinya. Namun misi kerasulan yang dibawanya itu seringkali berhadapan dengan kecenderungan umum masyarakat Jahiliyah yang menganggap orang sehebat Nabi sejajar dengan para Kahin (tukang ramal). Itulah karenanya al-Qur’an sangat berkepentingan untuk membentengi Nabi dari tuduhan sebagai Kahin dengan pernyataan yang tegas bahwa apa yang dibawa Nabi benar-benar merupakan wahyu Allah. Kalau al-Qur’an mencoba meyakinkan masyarakat Arab pra-Islam bahwa apa yang dibawa oleh Nabi itu benar-benar wahyu serta mencoba menjaga Nabi agar terhindar dari tuduhan sebagai peramal, pertanyaannya apakah logis jika Nabi kemudian banyak menyatakan hal-hal yang prediktif? Bukankah hal demikian ini bertentangan dengan logika umum yang tersimpul dari al-Qur’an itu sendiri? Sudah barang tentu hal ini tidak mungkin dilakukan Rasulullah. Itulah karenanya hadits-hadits yang bersifat prediktif ini sulit untuk bisa diterima sebagai landasan normatif untuk membenarkan Aswaja.

Dengan bersandar pada ketiga alasan di atas, pembenaran atas Aswaja harus dilihat dari aspek kesejarahan. Dari hasil pendekatan kesejarahan ini kemudian Aswaja di rekonstruksi menjadi konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep abstrak inilah yang akan kita jadikan sebagai pola atau model pemahaman keagamaan. Inilah yang kami maksudkan Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan Islam.

Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.

Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.

Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.

Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan. Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa dilawan pengaruhnya.

Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa dilakukan secara maksimal. (NU Online)

Dalam tinjauan teologis dan historis-sosiologis, istilah Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah pengikut sunnah dan lawan dari sifat bid’ah pemikiran. Dalam sejarahnya, Aswaja sering diasosiasikan pengikut para imam-imam yang agung dalam kedalaman ilmunya, yang merupakan antitesa dari paham muktazilah, syiah, khawarij, murjiah, musyabbihah dan jabariyah. Lebih spesifik lagi, Imam As-Safariniy Al-Hanbali (1114-1188 H) dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Syarh Ad-Durrat Al-Mudhiyyah fi ‘Aqd Al-Firqoh Al-Mardhiyyah (vol.1/73) menegaskan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah terdiri dari 3 golongan besar yaitu, Asy’ariyah (pengikut Imam Abul Hasan Asy’ari), Maturidiyah (pengikut Imam Abu Manshur Maturidi) dan Ahlul Hadis/Atsar (pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal).

Perkembangan kondisi kekinian umat mengharuskan terciptanya persaudaraan, kesepahaman (tafahum), saling menyayangi dan merangkul (tarahum), sehingga melahirkan kerjasama dan sinergitas (ta’awun wa takamul). Sikap-sikap positif itu mutlak harus diwujudkan oleh semua pihak yang mengaku dirinya Ahlusunnah wal Jama’ah, apalagi di tengah tantangan dakwah Islam yang semakin berat dewasa ini.

Tantangan Ukhuwah Aswaja

Berikut ini, beberapa tantangan ukhuwah di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah.

Pertama, Sikap saling menafikan. Di muka, saya telah mengutip pandangan tokoh terkemuka Imam As-Safariniy tentang 3 kelompok Aswaja, yang disepakati oleh seluruh ulama . Namun dalam sejarah, tak jarang terjadi polemik dan sikap saling menafikan antar kelompok Ahlus Sunnah, terutama antara Asy’ariyah dan Maturidiyah di satu sisi dan Ahlul Hadis di sisi lain. Tantangan ini tidak bisa dipandang remeh.

Sebagian ulama Asy’ariah misalnya menafikan Ahlul Hadis, terutama dalam hal tanzih sifat Allah, bahwa mereka (Ahlul Hadis) terkena sindrom tajsim dan tasybih antara Allah dan makhluk-Nya. Seperti yang sering dituduhkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taymiah (661-728 H, 1263-1328 M). Sebaliknya sebagian ulama Ahlul Hadis menafikan Asy’ariah dan Maturidiyah dan menuduh mereka terkena sindrom jahamiyah dan muktazilah dalam soal takwil sifat-sifat Allah. Tentu saja sikap saling menafikan di antara school of thoughts ini akan berdampak negatif bagi kemaslahatan umat Islam yang mayoritas berakidah Ahlusunnah wal Jama’ah. Perpecahan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada rekonsiliasi hakiki dan tidak lagi saling menafikan. Yang senang dengan skisma antar madrasah pemikiran Ahlusunnah, tentulah sekte-sekte sesat dan aliran pemikiran yang anti-sunnah dan melancarkan gerakan dekonstruksi syariah yang didukung kekuatan asing.

Kedua, Kurangnya sikap penghargaan terhadap tokoh panutan mazhab masing-masing. Sikap kritis ilmiah terhadap madrasah lainnya sah saja, -bukan hal yang tabu- namun harus diiringi sikap yang berimbang dan tetap saling menghargai. Contoh Ibnu Taymiah. Beliau memang kritis terhadap pandangan teologi Asy’ariyah, dalam soal-soal tertentu seperti penetapan sifat-sifat Allah secara akliah dan takwil terhadap sifat-sifat khabariyah. Namun sikap kritis itu tidak menghalangi beliau untuk respek dan menghargai jasa-jasa besar para ulama Asya’irah dalam melawan dan membantah pemikiran muktazilah, bathiniyah ismailiyah, dan syiah imamiyah-rofidhoh.

Beliau juga memuji Menteri Besar Daulah Saljuk, Nizhamul Mulk (408-485 H, 1018-1092 M) –penyokong teologi asy’ari- yang telah mensponsori Madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan kota-kota lainnya untuk melawan pemikiran dan aliran sesat. Dari rahim Nizhamiyah Baghdad telah lahir karya-karya besar seperti Ghiyats al-Umam oleh Imam Al-Juwaini (419-478 H, 1028-1185 M), Fadha’ih Al-Bathiniyah dan Tahafut Al-Falasifah oleh Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111 M), Al-Ghunyah oleh Abdul Qadir Jaylani (470-561 H), dan lain-lain.

Ia misalnya menulis, “Kebaikan-kebaikan mereka (Asy’ariyah) dilihat dari dua aspek; pertama, kesesuaiannya dengan ahlusunnah dan hadis, dan kedua, membantah aliran-aliran yang menyalahi ahlusunnah dan hadis dengan merontokkan argumentasinya.” Ia secara elegan menyatakan bahwa, “ulama Asy’ariah memiliki kebaikan, kelebihan dan upaya yang mesti disyukuri, sehingga ijtihad mereka yang keliru akan diampuni.” (lihat Majmu’ Fatawa, dan lebih jauh baca Abdurrahman Al-Mahmud dalam Mawqif Ibn Taymiah Minal Asya’irah, vol.2/705-708 dan 709)Sikap dan penilaian yang fair dari Ibnu Taymiah terhadap para ulama Asya’irah ini yang harus digugu dan ditiru oleh kelompok Salafi yang kagum dan menisbatkan dirinya kepada beliau, dalam menilai kelompok lain yang masih satu atap koridor Ahlusunnah.

Ketiga, Kecurigaan terhadap perkembangan gerakan keagamaan baru; label “ideologi transnasional” disematkan kepada mereka dan dianggap paham yang bertentangan dengan Aswaja. Gerakan seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tablig sering diasosiasikan ke dalam kecurigaan itu. Padahal kalau mau jujur, aliran Syiah lebih tepat dilabeli “transnasional” yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa yang mayoritas muslim dan sudah mengakar di Indonesia. Hal ini akibat kurangnya informasi tentang perkembangan ideologi yang bertransformasi menjadi gerakan politik disamping ormas keagamaan murni.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Faham ahlussunnah wal jamaah terbentuk melalui proses yang tidak sederhana.disamping membutuhkan waktu yang panjang dalam proses dalam pembukuannya, faham ini juga mengalami beberapa kali benturan dengan faham lain sebelumsampai pada bentuk ny ayang final. Walaupun faham ini telah berhasil mengatasi tantangangan yang dihadapinya dalam proses sampai kepada formatnya yang baku, ahlussunah waljamaah mulai di uji kembali oleh kelompok modernis yang menghendaki adanya revisi terhadap beberapa ajarannya yang dianggap perlu diubah agar sesuai dengan tututan zaman.

Namun, kelihatannya keberadaan ahlusunnah waljamaah maih tetap dibutuhkan sekurang-kurang dalam masa sekarang ini karena tantangan dari kaum modernis terbukti menjadi kontra produktif. Meskipun demikian ahlusunah wal jama’ah tetap harus terbuka untuk berubah sebab hakekat keberadaanya memang hasil dari dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh ulama di masa lalu doktrin in bisa compatible dengan waktu di masa para ulama waktu hidup.

Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan para ulama klassik memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan mempersempit makna ke arah institusional. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menjawab perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj al fikr sehingga bersifat dinamis sekaligus sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan namun tetap selektif dan protektif dalam merespon perkembangan tersebut.

Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke arah kemajuan. Para kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas, sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat memihak kepada masyarakt kecil.

Usaha Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.